Saturday, October 4, 2025

Rokok Pertama Setelah Tertidur



Rokok pertama setelah tertidur selalu punya rasa yang berbeda.
Bukan karena nikotinnya,
tapi karena ia mengingatkan perjalanan panjang
yang tak selalu sempat kutulis.

Hampir empat tahun lalu, aku berani membayangkan diriku berangkat bekerja,
menelusuri jalan MT Haryono, menyeberang Ahmad Yani,
lalu berbelok ke arah Gajah Mada —
menuju gerbang sebuah universitas Islam negeri,
yang kala itu terasa seperti takdir hidupku.
Namun dunia punya maksud dan arah lain.

Hari-hari berikutnya terasa berat,
dengan pekerja lapangan yang bersama matahari,
jurnalis pemalu yang terbata dalam bicara,
penjual parfum di sela hari yang panjang,
pengelola media usaha milik orang lain,
dan tukang perekam di balik hiruk-pikuk acara,
yang gajinya entah kapan akan dibayarkan.

Semua itu seperti jalan memutar — panjang dan melelahkan,
namun ternyata tetap mengantarkan ke tempat yang hampir sama,
yang dulu hanya berani untuk dikhayalkan.

Kini aku masih melewati jalan yang sama:
MT Haryono lalu memutar ke Ahmad Yani,
namun dengan rasa syukur ketika melewatinya.

Malam ini, setelah terbangun dari tubuh yang tertidur,
dengan masih menggenakan celana panjang yang kusut,
minyak di wajah, dan langit kamar yang gelap,
jam menunjuk sebelas lewat tiga belas.
Aku menyalakan sebatang rokok pertama setelah tertidur setelah petang.

Asapnya naik perlahan,
membawa harapan sederhana:
semoga esok tetap bisa kulalui,
semoga tahun-tahun berikutnya masih sudi memberi kesempatan,
dan semoga aku tak pernah lupa
betapa jauhnya langkah yang sudah kutempuh
untuk sampai di titik ini.

titik ini tentu tidak mudah,
dan tidak mudah pula untuk menjalani hari demi harinya.
Namun aku selalu berharap,
agar senantiasa diberikan kelapangan hati selapang-lapangnya,
serta ruang untuk mendapatkan ketenangan dalam menjalaninya.


meski nanti, aku punya arah tujuan hidup lainnya.